Sabtu, 12 Februari 2011

DEMAM BERDARAH DENGUE


ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviardae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demem berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe  dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis dan West Nile virus. 
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemologi pada hewan ternak dapat didapatkan antybody terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada atropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus aedes (stegomyia) dan Toxorhynchites.

EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes (terutama A. aegyepti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu: 1).Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di lingkungan, transportasi vector dari satu tempat ke tempat lain; 2). Penjamu : terdapatnya penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3).Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

PATOGENESIS
Pathogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imum yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah : a). Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolosis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE) ; b). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interfon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). Selin itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary hetrologous infection yang menyatakan DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkanreaksi anamnestik antibody sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper da T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-6, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi sumsum tulang, dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme komponen terhadap trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati da sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demem berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsic juga berperan melalui aktivasi factor Xia nemun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1 –inhibitor).

MANIFESTASI KLINIS DAN PERJALANAN PENYAKIT
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudahtidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat. Demam dapat disertai nyeri kepala (cephalgia), nyeri otot (mialgia), atau nyeri sendi (atralgia).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan menapis pasien tersangka demam dengue  adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes seorologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody totaltotal, IgM maupun IgG.
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
·         Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relative (< 45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
·         Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8
·         Hematokrit : kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
·         Hemostasis : dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibronogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
·         Protein / albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
·         SGOT/ SGPT (serum alanin aminotransfer) : dapat meningkat
·         Ureum, Kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
·         Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
·         Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) : bila akan diberikan transfuse darah atau komponen darah.
·         Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
o   IgM : terdeteksi mulai hari ke 3 – 5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60 – 90 hari.
o   IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

DIAGNOSIS
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4 – 6 hari (rentang 3 – 14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan perasaan lelah.

Demam Dengue (DD)
Merupakan penyakit demam akut selama 2 -7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut :
·         - Nyeri kepala
·         - Nyeri retro-orbital
·          - Mialgia / atralgia
·         - Ruam kulit
·         - Anoreksia (penurunan nafsu makan)
·         - Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif)
·         - Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama

Demam Berdarah dengue (DBD)
Berdasarkan criteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila hal dibawah ini dipenuhi :
·         Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik
·         Terdapat minimal satu dari manifeatasi perdarahan berikut :
o   Uji bendung positif
o   Petekie, ekimosis, atau purpura
o   Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain.
o   Hematemesis atau melena
·         Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000)
·         Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut :
o   Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.
o   Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
o   Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
 
Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam typhoid, campak, influenza, chikungunya, dan leptospirosis.
PENATALAKSANAAN
  Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan voulume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Minum banyak (rehidrasi oral) : 1,5 – 2 ltr / 24 jam. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan (dapat disebabkan karena muntah terus, intake tidak terjamin, atau Ht ↑ progresif) maka diberikan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Untuk menurunkan gejala demam juga dapat digunakan antipiretik, seperti Paracetamol dan kompres dingin. Jika nilai trombosit terus mengalami penurunan, dapat dilakukan transfusi darah; trombosit, plasma, whole fresh blood.
  Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.
  Praktis dalam pelaksanaaannya
  Mempertimbangkan cost effectiveness
Dengan mengikuti protokol penatalaksanaan DBD yang di buat oleh PAPDI
Ø  Protokol 1 penanganan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol ini digunakan sabagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD atau yang diduga di Instalasi Gawat Darurat dan juga di pakai sebagai petunjuk dalam mengindikasikan rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, dan trombosit.
·         Hb,Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam, lalu lakukan pemeriksaan Hb,Ht, dan trombosit ulangan. Kalau keadaan pendrita memburuk langsungdi bawa ke UGD.
·         Hb,Ht normal tetapi trombosit < 100.000 di anjurkan dirawat.
·         Hb,Ht, meningkat dan trombosit Normal atau turun juga di anjurkan di rawat.
Ø  Protokol 2 pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat.
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di ruang rawat di berikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:
1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 +{20 x (55-20)} = 2200 ml
Setelah di berikan cairan di lakukan pemeriksaan Hb,Ht, tiap 24 jam
·         Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo di lakukan tiap 12 jam.
·         Bila Hb, Ht, meningkat >20 % dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%
Ø  Protokol 3 penatalaksanaan DBD dengan peniongkatan Ht > 20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukan bahwa mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian di pantau setelah 3-4 jam pemberian. Bila terjadi perbaikan di tandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuansi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus di kurangi menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat di hentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam keadaan tidak membaik, yang di tandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka cairan di mulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
Ø  Protokol 4 penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewas.
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuri), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi pernafasan dan jumlah urin di lakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit dan hemostase harus segera dilakukan dengan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya di ulang 4-6 jam.
Pemeriksaan heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris di dapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID), transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP di berikan bila di dapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang 10 g/dl. Trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/ mm3 disertai atau tanpa KID
Ø  Protokol 5 tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
Bila kita berhadapan dengan sindroma syok dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera di latasi oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindroma syok dengue sepuluh kali lipat di bandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga di berikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisa gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida serta ureun kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid di guyur sebanyak 10-20 ml.kgBB/jam dan di evaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (di tandai dengan tekanan sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral terba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0.5-1ml.kgBB/jam)jumlah cairan dikurangi  menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml.kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 jam kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemebrian cairan infus harus dihentikan (karena jika di reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, di tandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus di berikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).     

PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi sampai sore, karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Misalnya hindarkan berada di lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari, terutama di daerah yang ada penderita DBD nya. Beberapa cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode pengontrolan atau pengendalian vektornya adalah :
1.      Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
2.      Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) pada tempat air kolam, dan bakteri.
3.      Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion).
4.      Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Speesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI .Jakarta : 2006

Mandal, dkk. Penyakit Infeksi. Erlangga. Jakarta : 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar